Minggu, 05 Februari 2012

Catatan dari Negeri yang Jauh : Edisi Sikori

Berikut ini adalah catatan harian Maus Ankibor, seorang mahasiswa, selama perang Sikoria Timur ke-Tiga (1821-1824).

12-3-1821 - Satias
Hari ini adalah hari yang menggelisahkan. Kemarin malam siaran televisi diinterupsi oleh pengumuman darurat oleh pemerintah dan isinya tidak mengenakkan. Gasan tengah menginvasi Latusa. Pos-pos perbatasan baru saja diserang oleh dan kota-kota di sekitar perbatasan telah diambil alih, tentara Gasan juga sudah menembus hingga 20km dari perbatasan. Pemerintah menyatakan perang dan mengumumkan keadaan darurat serta mobilisasi perang. Aku tak pernah menyangka akan mengalami perang yang hanya kulihat dibuku-buku sejarah.

Perbatasan hanya 100 km dari ibukota Satias, dan banyak orang memperkirakan bahwa ibukota tidaklah aman, presiden saja diungsikan oleh militer ke Filetu di barat daya, ke arah pegunungan. Militer akan menjadikan ibukota sebagai benteng pertahanan sehingga semua warga sipil disarankan untuk keluar. Oleh karena itu banyak orang mengungsi dan meninggalkan ibukota ke arah selatan. Keluarga kami juga demikian. Malam ini kami telah selesai mengepak barang-barang ke mobil dan mengungsi ke rumah Paman, saudara ibu di Serion, pinggir pantai timur 400 km dari Satias. Kami harap di sana akan aman. Pangkalan Marula, Pusat Angkatan Laut Latusa ada di sana dan musuh pasti akan berpikir dua kali untuk menyerang.

Sepanjang perjalanan keluar kota aku dapat melihat tank-tank, meriam-meriam altileri dan peluncur misil bergerak ke pusat kota. Di udara pesawat tempur silih berganti berbunyi, semua bergerak ke arah utara ke arah perang. Sementara itu, aku dan keluarga dapat mendengar suara tembakan meriam dan ledakan dari arah utara. Langit di sana sesekali berkilat disertai gemuruh, seakan-akan terbakar.

13-3-1821 - Sun-Kapata
Kami masih belum jauh dari ibukota hanya baru bisa bergerak sekitar 40km saja walau sudah semalaman berkendara. Hampir semua jalan keluar ibukota ke arah selatan penuh sesak dengan kendaraan juga orang-orang yang mengungsi dan tank-tank dan truk-truk yang membawa tentara sehingga kami sama sekali tidak bisa maju. Pirsa khawatir karena dia mendengar di radio bahwa batalyon ke-3 baru saja dipukul mundur oleh tentara musuh. Aku hanya berharap bahwa para tentara yang kulihat dapat mempertahankan ibukota dan memukul mundur musuh kembali ke perbatasan. Ayah tampak tegang, sebagai Letnan Milisi, dia juga ingin ikut bertempur, mempertahankan ibukota, namun keluarga adalah proritas utama ayah. Begitu kami sampai dengan selamat ayah akan segera bergabung dengan kesatuan. Aku juga berencana demikian walau ibu menentang keputusan tersebut. Beliau khawatir karena hanya tinggal beliau dan Pirsa saja kalau ayah dan aku pergi berperang. Mungkin ada baiknya aku memikirkan kembali keputusanku ini.

Sampai sore hari kami hanya bisa maju beberapa kilometer saja... Malam ini tampaknya kami akan bermalam lagi di sini.

14-3-1821 - Sin-Ika
Kami kaget terbangun dibangunkan oleh seorang tentara yang menggedor pintu mobil. Dia berkata bahwa semua pengungsi disarankan meninggalkan kendaraan mereka dan bergerak berjalan kaki saja hingga ke kota selanjutnya seperti seperti Sin-Ika atau Sin-Kapata, di mana pemerintah sudah menyiapkan bus dan kereta untuk pengungsi.
Ayah bertanya ada apa, dan sang tentara berkata bahwa ibukota sudah diserang Gasan, saat ini telah terjadi pertempuran kota. Kami cukup kaget karena hanya dalam tempo 3 hari saja, musuh sudah memasuki ibukota. Tampaknya mereka tidak memperdulikan kota-kota lain dan langsung mengincar ibukota. Kami sekeluarga bergabung dengan ribuan pengungsi lainnya yang meninggalkan kendaraan mereka di jalan raya dan bergerak berjalan kaki ke kota selanjutnya. Agar tidak terpisah, kami sekeluarga berpegangan tangan. Ayah di depan memegang tangan ku dan ibu, aku memegang tangan adikku, kupegang dengan sekuat mungkin. Di kejauhan bunyi ledakan semakin terdengar kencang dan sewaktu aku memandang ke belakang aku dapat melihat asap dari arah ibu kota.

Setelah bergerak selama entah berapa jam, hari sudah sore kami sampai di kota Sin-Ika. Di sana terjadi kericuhan karena semua orang berebut menaiki bus dan kereta, bahkan sampai atap bus dan kereta penuh sesak dijejali orang. Kami sekeluarga menunggu, karena ayah tidak ingin keluarga kami turut serta dalam kericuhan tersebut. Lagipula kami semua lelah. Pirsa mengeluh karena sebagian besar barang bawaan dia masih berada di mobil. Apa boleh buat kataku, kita tak mungkin dapat bergerak dengan semua tas-tas tersebut. Kami beristirahat di sebuah kafe, atau dulu disebut demikian karena kafe tersebut sudah seperti tempat pengungsian korban bencana alam saja. Orang-orang duduk di kursi dan di lantai semuanya tegang dan gelisah. Sang pemilik kafe berbaik hati memberikan sedikit makanan dan minuman gratis kepada kami. Dia akan ikut mengungsi besok katanya. Aku rasa teh coklat yang dibuatnya terasa sangat melegakan. Sudah beberapa hari aku tidak minum benda lain selain air botol.

Aku melihat keluar jendela, para prajurit dan milisi mulai menyiapkan garis pertahanan dan bergerak ke arah Satias. Aku bisa melihat bahwa kota penuh dengan tank-tank dan kendaraan lapis baja yang akan membawa para tentara. Realita perang semakin menusuk batinkku. Ini adalah kenyataan. Padahal dulu perang adalah sesuatu yang rasanya jauh hanya ada di film dan cerita.

Di sini kami berkenalan dengan Efasa, gadis seumuran dengan Pirsa. Pirsa sangat senang karena akhirnya ada seseorang yang dapat diajak berkomunikasi. Efasa berasal dari kota Morjia di sebelah utara. Sewaktu tentara Gasan menyerang dia dan keluarganya mengungsi ke ibukota. Kemudian dari Satias dia terpisah dari keluarganya sewaktu tentara menyuruh untuk mengungsi kembali ke selatan. Setelah terpisah dia bergabung dengan orang-orang lain hingga sampai ke Sin-Ika.
Di tengah kekacauan seperti ini, pihak tentara maupun pemerintah tidak dapat berbuat banyak untuk menemukan keluarganya. Pusat orang hilang juga penuh sesak dengan orang-orang yang ingin mencari tahu keberadaan sanak saudara mereka yang terpisah sewaktu mengungsi, jaringan telepon seluler juga tidak dapat bekerja karena hampir semua jaringan sibuk dipakai oleh orang2 yang menelpon atau digunakan oleh pihak militer, jaringan internet juga tidak berkerja. Tidak banyak yang bisa dilakukan bagi Efasa maupun bagi orang-orang lain untuk dapat menemukan keluarga yang terpisah.
Efasa bingung harus berbuat apa dan mengungsi ke mana karena tidak ada seorangpun yang dia kenal. Ibuku menawarkan agar Efasa ikut keluarga kami mengungsi ke Serion dan dari situ ia akan menggunakan koneksinya untuk mencari keluarga Efasa. Efasa menyetujui usul ibu karena siapa tahu keluarganya juga mengungsi ke sana.

Malam ini kami tidur di dalam kafe, sebuah perubahan besar mengingat sudah 2 malam kami tidur di mobil. Dari kaca kafe aku melihat ke arah utara. Kilatan-kilatan di kejauhan masih terlihat, sesekali dengan dentuman. Apakah semua akan baik-baik saja?

15-3-1821 - Sin-Ika
Televisi tidak dapat digunakan. Subuh tadi sebuah Kabel Listrik Tegangan Tinggi di timur Sin-Ika terkena serangan udara yang mengincar konvoi tentara. Beberapa tank tentara hancur dan banyak orang terluka. Dalam hatiku timbul kemarahan pada mereka, timbul rasa ingin membalas dendam serangan mereka. Satu-satunya sumber informasi yang tersisa hanyalah radio, yang masih mengabarkan kalau perang di ibukota masih berkecamuk. Tentara berhasil menahan laju musuh dan berusaha memutus rantai suplai mereka dari kota Fisora. Namun hatiku sedikit ragu: "Sampai berapa lama?". Dari segi tentara dan sumber daya perang, bukankah Latusa kita tidaklah terlalu kuat jika dibandingkan dengan Gasan. Lagipula sebagian besar tentara kita adalah milisi, relawan yang hanya bertugas dan memegang senjata jika terjadi perang saja, bukan prajurit profesional. Namun jalan pikiran ini segera kuhapus dari otakku. Bukankah 100 tahun yang lalu kita juga dapat memukul kalah mereka sewaktu perang Sikori ke-2 hanya dengan kekuatan milisi rakyat? Saat ini juga pasti bisa. Selain itu, radio juga mengabarkan bahwa anggota Aliansi Pertahanan Helian Selatan (APHS) akan mendukung Latusa untuk melawan Gasan. Perserikatan Negara se-Dunia (PND) juga akan membahas permasalahan ini di sidang darurat besok. Aku harap mereka dapat membantu menyelesaikan agar perang ini dapat dengan segera selesai.

Ayah berhasil menemukan bus kosong yang akan bergerak ke arah timur, ke kota Saliga di pinggir Sungai Letus. Walau bukan merupakan tujuan kami, namun kota Saliga tersebut sudah cukup dekat dengan kota Serion di mana Rumah Paman berada. Dari sana kami akan naik kapal feri dan menyusuri Sungai Letus hingga ke kota Serion.

Sore ini bersama ayah, ibu, adik dan Efasa, kami berlima bergerak ke kota. Karena jalan raya pasti penuh sesak dengan kendaraan yang ditinggalkan penghuninya dan juga kendaraan militer, kami tidak melewati jalan raya dan hanya melalui jalan-jalan desa, oleh itu baru sekitar tengah malam kami akan sampai. Adik dan Efasa tidur saling bersandar. Kasihan, kedua gadis ini pasti lelah dengan semua usaha mengungsi ini. Aku juga akan mencoba tertidur.

16-3-1821 - Serion
Bus kami sudah sampai ke tempat tujuannya. Di kota Saliga kami tidak melihat adanya tentara, tank atau bukti bahwa ada perang. Tampak seperti kota kecil yang tenang seperti kota di tepi sungai lainnya di dunia, dengan sedikit perbedaan: kalau kota di pinggir sungai lain biasanya penuh sesak dengan turis namun kali ini penuh sesak dengan pengungsi. Karena masih subuh, kami tidak langsung ke pelabuhan. Ayah membawa kami ke sebuah restoran cepat saji. Tempat itu penuh sesak dengan para pengungsi lain yang sebagian masih tertidur sebagian terjaga walau ada yang mengantuk. Tidak ada satupun makanan yang dijual, sudah habis dimakan oleh ribuan pengungsi sejak kemarin. Para penjaga toko juga tidak terlihat. Hanya ada tulisan "Silahkan Layani Diri Sendiri". Prisa dan Efasa mengambil tempat di pojokan kursi dekat dinding yang kosong. Mereka melanjutkan tidur mereka yang terhenti tadi. Aku mengambil gelas dan membuat sedikit teh hangat untuk ayah, ibu dan aku. Beberapa orang kemudian juga meminta aku membuatkan minuman untuk mereka, dan tanpa aku sadari aku membuat minuman untuk semua orang di kafe dan pengungsi yang datang. Aku tersenyum, setidaknya ada juga yang dapat kulakukan untuk mereka.

Sewaktu subuh datang, kami berlima menaiki kapal feri, yang dulu merupakan kendaraan untuk turis yang ikut dalam tur mengelilingi indahnya Sungai Letus, namun kali ini di pakai untuk mengangkut pengungsi ke kota Serion.
Dari kapal feri, aku dapat melihat truk-truk dan kereta yang membawa tentara ke arah utara. Sudah hampir seminggu sejak aku meninggalkan ibukota dan aku terus melihat tentara dan tentara di manapun aku pergi. Walau dari kemarin aku tahu bahwa sekarang adalah perang, namun aku masih belum terbiasa, dan semoga saja tidak, dengan pemandangan ini. Sesekali juga kapal feri kami mengklakson kapal perang yang berpatroli di sungai. Aku dan para penumpang lain melambai-lambaikan tangan kami memberi dukungan kepada para prajurit yang bertugas di sana. Lambaian kami disambut dengan lambaian kembali. Aku berharap mereka dapat bertugas dengan baik dan selamat.

Mendekati kota Serion, kami sadar bahwa kota Serion juga mengalami dampak perang. Beberapa bangkai kapal, entah kapal perang atau hanya kapal biasa, terdampar di samping kiri dan kanan sungai. Sementara beberapa bangunan di tepi sungai juga menjadi puing-puing. Sebuah bangkai pesawat tempur, setengah utuh, tergeletak di reruntuhan yang awalnya mungkin adalah sebuah rumah. Dari bentuknya itu adalah pesawat tempur dari Gasan yang sepertinya jatuh tertembak sewaktu melakukan serangan udara. Seorang kelasi menceritakan bahwa dua hari yang lalu beberapa pesawat pembom dari Gasan berhasil menembus pertahanan udara, dan menjatuhkan bomnya secara membabi buta di daerah pelabuhan dan industri. Walau demikian mereka tidak berhasil menyerang Pangkalan Marula dan beberapa pesawat pembom mereka berhasil ditembak jatuh oleh angkatan udara Latusa.

Kami tidak dapat berlabuh di pelabuhan Serion, selain karena penuh dengan puing-puing dan bangkai kapal, juga karena pelabuhan penuh sesak dengan kapal perang dan tentara yang mempersiapkan diri terhadap kemungkinan serangan dari udara dan dari laut. Kami dan penumpang lainnya, kemudian diturunkan ke dalam kapal-kapal kecil yang kemudian akan membawa kami ke pinggir sungai.

Setelah sampai di pinggiran, karena tidak sedang tidak ada layanan transportasi publik, semua bus kota dan taksi dialihkan untuk membawa pengungsi dari luar Serion, seperti yang kami gunakan dari Sin-Ika, layanan kereta bawwah tanah tidak berjalan untuk sementara, kami berlima kemudian terpaksa berjalan kaki ke rumah paman. Rumah paman ternyata cukup jauh juga karena aku rasa kami sudah berjalan 2 jam lebih. Pirsa mengaku lelah dan kamipun beristirahat di tepi Jalan Homsa. Kata ibuku yang tumbuh besar di Serion, kalau sedang tidak ada perang, jalan ini penuh dengan kedai makanan laut khas Danta, seperti sup kepiting dan sate udang, namun hari ini hanya sedikit kedai saja yang buka, sisanya tutup. Seandainya tidak ada perang aku ingin sekali mencoba makanannya.
Sementara kami beristirahat suara sirine berbunyi. Kata ayahku ini berarti ada bahaya serangan udara. Aku segera menarik Efasa sementara ibu menarik Pirsa, kami mengikuti ayah bergerak ke stasiun kereta bawah tanah yang sekarang berubah berfungsi sebagai tempat perlindungan dari serangan udara. Para tentara yang ada di sekitar kemudian segera menuntun para warga ke dalam stasiun kereta bawah tanah sambil awas terhadap pergerakan pesawat di langit.
Segera saja setelah aku masuk ke pintu gerbang aku dapat mendengar suara deru jet dan kemudian diikuti dengan ledakan dan dentuman meriam antiudara yang bertubi-tubi. Aku mau saja melihat namun sayang sekali instingku membuat kaki segera bergerak semakin dalam ke bawah tanah. Tanpa aku sadari aku sama sudah berjongkok setengah memeluk Efasa dan melingkarkan tanganku yang satu di atas kepala Efasa sementara tanganku yang satunya lagi melingkar di atas kepalaku. Gunanya apa? Aku juga tak tahu. Jikalau atap runtuh aku ragu tanganku dapat menahan apapun. Aku baru sadar setelah Efasa melihat ke arahku dengan sedikit terkejut malu. Aku lupa, aku kira dia adikku Pirsa.
Dentuman dan ledakan terus terdengar, sesekali aku bisa merasakan kalau tanah bergetar. Di luar sana aku bisa mendengar teriakan-teriakan dari para tentara. Entah apa yang mereka katakan. Kemudian tanah bergoncang dengan hebat dan terdengar suara ledakan yang sangat kencang, sampai-sampai telingaku berdenging. Lampu yang di langit-langit stasiun juga ikut mati sehingga sekeliling menjadi gelap. Kemudian suara dentuman itu perlahan-lahan menghilang.
Secara refleks, aku segera mengambil handphone karena handphoneku ada fungsi senternya, namun aku lupa kalau sudah beberapa hari handphoneku tidak diisi ulang. Seorang tentara menyalakan senternya, kemudian menyuruh kami menunggu sementara dia akan memeriksa keadaan di luar. Tidak lama kemudian dia masuk kembali bersama dengan beberapa tentara yang lainnya dan membimbing kami semua ke luar. Aku melihat ke arah sekeliling untuk melihat apakah ayah, ibu, Prisa dan Efasa baik-baik saja. Semuanya tidak terluka, aku merasa lega.

Begitu keluar aku sedemikian terkejut. Sebuah pesawat tempur Gasan jatuh dan terbakar di sudut jalan kira-kira 300 meter dari tempat kami. Bekas dimana dia jatuh membuat bekas di aspal jalan seperti jejak ban truk besar sebelum akhirnya berhenti menabrak sekumpulan mobil yang ditinggalkan di parkiran. Beberapa warga dan tentara yang ada bersorak-sorak di sekitar bangkai pesawat tersebut, sementara yang lainnya mencoba memadamkan api. Beberapa tentara di luar terluka namun untungnya tidak ada korban jiwa. Beberapa warga dan tentara bahkan berhasil menangkap pilot Gasan yang melompat dan mendarat di tanah. Pilot tersebut menyerah dan diangkut pergi oleh truk yang dijaga tentara sementara beberapa warga melemparinya dengan batu dari puing-puing jalan. Aku bisa mengerti kemarahan mereka. Siapa yang tidak marah kalau anda mengebom kota dan rumah mereka?
Dari kejauhan aku bisa melihat target serangan kali ini. Dari arah pelabuhan, Pangkalan Marula, markas armada laut terbakar hebat, beberapa kapal perang terbakar. Sementara pesawat-pesawat tempur dari Latusa masih berkeliling di langit berjaga-jaga terhadap serangan berikutnya. Kali ini serangan mereka sangat berhasil.

Seorang tentara yang baik hatinya menawarkan tumpangan untuk kami dalam truknya yang membawa persediaan medis dari bandara. Kebetulan rumah Paman dekat dengan rumah sakit. Tentara tersebut bercerita bahwa bantuan medis ini baru saja dikirim dari Helian, dan Helian sudah berjanji akan mengirimkan bantuan berupa senjata, dan kalau PND mengijinkan Helian akan mengirim tentarannya. Aku sangat senang mendengar prospek bahwa Helian, sebuah negara adidaya, akan membantu kami, perang pasti akan segera berakhir. Akhirnya kami berlima sampai di rumah paman, setelah mengucapkan terima kasih kami masuk ke rumah paman yang halamannya berubah menjadi seperti sebuah rumah sakit kecil. Tenda-tenda berdiri sementara pasien-pasien dengan berbagai jenis luka berbaring dan ditangani oleh dokter dan suster.

Paman Reka menyambut kami dan kamipun akhirnya dapat berisitirahat di rumahnya. Paman menceritakan bahwa semua rumah sakit di Serion penuh sesak dengan pasien baik pengungsi maupun penduduk kota yang terluka akibat serangan udara Gasan. Sebagai kepala Rumah Sakit Kota Serion, dia mempergunakan halaman rumahnya yang cukup luas sebagai unit gawat darurat tambahan bagi para korban yang tidak tertampung di Rumah sakit. Ibu menceritakan permasalahan Efasa pada paman, dan paman berjanji akan menghubungi rekannya mengenai masalah keluarga Efasa, sampai saat itu Efasa dipersilahkan tinggal bersama kami di rumah paman. Sepupuku Furasa dan bibi Parna sangat senang melihat kami baik-baik saja. Mereka sangat khawatir sewaktu mendengar Satias diserang Gasan. Mereka sangat merasa lega. Mereka menceritakan kalau kakak Furasa, Yusbi sudah direkrut menjadi pilot angkatan udara. Apakah dia yang berkeliling di angkasa hari ini ya? Pikirku.
Hari ini akan segera berakhir, hari yang penuh dengan kejadian, hari yang sangat melelahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar